Sabtu, 21 Februari 2015

Sejarah Kabupaten Wonogiri

Sejarah Kabupaten Wonogiri

Afrizal Info - Sejarah terbentuknya Kabupaten Wonogiri tidak bisa terlepas dari perjalanan hidup dan perjuangan Raden Mas Said atau dikenal dengan julukan Pangeran Sambernyawa. Asal kata Wonogiri sendiri berasal dari bahasa Jawa wana (alas/hutan/sawah) dan giri (gunung/ pegunungan). Nama ini sangat tepat menggambarkan kondisi wilayah Kabupaten Wonogiri yang memang sebagian besar berupa sawah, hutan dan gunung.

Pemerintahan di Kabupaten Wonogiri awal mulanya merupakan suatu daerah basis perjuangan Raden Mas Said dalam menentang penjajahan Belanda. Raden Mas Said lahir di Kartasura pada hari Minggu Legi, tanggal 4 Ruwah 1650 tahun Jimakir, Windu Adi Wuku Wariagung, atau bertepatan dengan tanggal Masehi 8 April 1725. Raden Mas Said merupakan putra dari Kanjeng Pangeran Aryo Mangkunegoro dan Raden Ayu Wulan yang wafat saat melahirkannya.

Memasuki usia dua tahun, Raden Mas Said harus kehilangan ayahandanya karena dibuang oleh Belanda ke Tanah Kaap (Ceylon) atau Srilanka. Hal itu karena ulah keji berupa fitnah dari Kanjeng Ratu dan Patih Danurejo. Akibatnya, Raden Mas Said mengalami masa kecil yang jauh dari selayaknya seorang bangsawan Keraton. Raden Mas Said menghabiskan masa kecil bersama anak-anak para abdi dalem lainnya, sehingga mengerti betul bagaimana kehidupan kawula alit. Hikmah dibalik itulah yang menempa Raden Mas Said menjadi seorang yang mempunyai sifat peduli terhadap sesama dan kebersamaan yang tinggi karena kedekatan beliau dengan abdi dalem yang merupakan rakyat kecil biasa.

Pada suatu saat terjadi peristiwa yang membuat Raden Mas Said resah, karena di Keraton terjadi ketidakadilan yang dilakukan oleh Raja (Paku Buwono II) yang menempatkan Raden Mas Said hanya sebagai Gandhek Anom (Manteri Anom) atau sejajar dengan Abdi Dalem Manteri. Padahal sesuai dengan derajat dan kedudukan, Raden Mas Said seharusnya menjadi Pangeran Sentana.

Melihat hal ini, Raden Mas Said ingin mengadukan ketidakadilan kepada sang Raja, akan tetapi pada saat di Keraton oleh sang Patih Kartasura ditanggapi dingin. Dan dengan tidak berkata apa-apa sang Patih memberikan sekantong emas kepada Raden Mas Said. Perilaku sang Patih ini membuat Raden Mas Said malu dan sangat marah, karena beliau ingin menuntut keadilan bukan untuk mengemis.

Raden Mas Said bersama pamannya Ki Wiradiwangsa dan Raden Sutawijaya yang mengalami nasib yang sama, mengadakan perundingan untuk membicarakan ketidakadilan yang menimpa mereka. Akhirnya Raden Mas Said memutuskan untuk keluar dari keraton dan mengadakan perlawanan terhadap Raja.

Raden Mas Said bersama pengikutnya mulai mengembara mencari suatu daerah yang aman untuk kembali menyusun kekuatan. Raden Mas Said bersama para pengikutnya tiba disuatu daerah dan mulai menggelar pertemuan-pertemuan untuk menghimpun kembali kekuatan dan mendirikan sebuah pemerintahan biarpun masih sangat sederhana. Peristiwa itu terjadi pada hari Rabu Kliwon tanggal 3 Rabiulawal (Mulud) tahun Jumakir windu Sengoro, dengan candra sengkala Angrasa Retu Ngoyag Jagad atau tahun 1666 dalam kalender Jawa. Dan dalam perhitungan kalender Masehi bertepatan dengan hari Rabu Kliwon tanggal 19 Mei 1741 M.

Daerah yang dituju Raden Mas Said waktu itu adalah Dusun Nglaroh (wilayah Kecamatan Selogiri), dan disana Raden Mas Said menggunakan sebuah batu untuk menyusun strategi melawan ketidakadilan. Batu ini dikemudian hari dikenal sebagai Watu Gilang yang merupakan tempat awal mula perjuangan Raden Mas Said dalam melawan ketidakadilan dan segala bentuk penjajahan. Bersama dengan pengikut setianya, dibentuklah pasukan inti kemudian berkembang menjadi perwira-perwira perang yang mumpuni dengan sebutan Punggowo Baku Kawandoso Joyo. Dukungan dari rakyat Nglaroh kepada perjuangan Raden Mas Said juga sangat tinggi yang disesepuhi oleh Kyai Wiradiwangsa yang diangkat sebagai Patih. Dari situlah awal mula suatu bentuk pemerintahan yang nantinya menjadi cikal bakal Kabupaten Wonogiri.

Dalam mengendalikan perjuangannya, Raden Mas Said mengeluarkan semboyan yang sudah menjadi ikrar sehidup semati yang terkenal dengan sumpah “Kawulo Gusti” atau “Pamoring Kawulo Gusti” sebagai pengikat tali batin antara pemimpin dengan rakyatnya, luluh dalam kata dan perbuatan, maju dalam derap yang serasi bagaikan keluarga besar yang sulit dicerai-beraikan musuh. Ikrar tersebut berbunyi “Tiji tibeh, Mati Siji Mati Kabeh, Mukti Siji Mukti Kabeh”. Ini adalah konsep kebersamaan antara pimpinan dan rakyat yang dipimpin maupun sesama rakyat.

Raden Mas Said juga menciptakan suatu konsep manajemen pemerintahan yang dikenal sebagai Tri Darma yaitu :
  1. Mulat Sarira Hangrasa Wani, artinya berani mati dalam pertempuran karena dalam pertempuran hanya ada dua pilihan hidup atau mati. Berani bertindak menghadapi cobaan dan tantangan meski dalam kenyataan berat untuk dilaksanakan. Sebaliknya, disaat menerima anugerah baik berupa harta benda atau anugerah lain, harus diterima dengan cara yang wajar. Hangrasa Wani, mau berbagi bahagia dengan orang lain.
2. Rumangsa Melu Handarbeni, artinya merasa ikut memiliki daerahnya, tertanam dalam sanubari yang terdalam, sehingga pada akhirnya pada akhirnya akan menimbulkan perasaan rela berjuang dan bekerja untuk daerahnya. Merawat dan melestarikan kekayaan yang terkandung didalamnya.
3. Wajib Melu Hangrungkebi, artinya dengan merasa ikut memiliki timbul kesadaran untuk berjuang hingga titik darah penghabisan untuk tanah kelahirannya.

Kegigihan Raden Mas Said dalam memerangi musuh-musuhnya sudah tidak diragukan lagi, bahkan hanya dengan prajurit yang jumlahnya sedikit, tidak akan gentar melawan musuh. Raden Mas Said merupakan panglima perang yang mumpuni, terbukti selama hidupnya sudah melakukan tidak kurang 250 kali pertempuran dengan tidak menderita kekalahan yang berarti. Dari sinilah Raden Mas Said mendapat julukan “Pangeran Sambernyawa” karena dianggap sebagai penebar maut (Penyambar Nyawa) bagi siapa saja musuhnya pada setiap pertempuran.

Berkat keuletan dan ketangguhan Raden Mas Said dalam taktik pertempuran dan bergerilya sehingga luas wilayah perjuangannya meluas meliputi Ponorogo, Madiun dan Rembang bahkan sampai daerah Yogyakarta. Pada akhirnya atas bujukan Sunan Paku Buwono III, Raden Mas Said bersedia diajak ke meja perundingan guna mengakhiri pertempuran.

Dalam perundingan yang melibatkan Sunan Paku Buwono III, Sultan Hamengkubuwono I dan pihak Kompeni Belanda, disepakati bahwa Raden Mas Said mendapat daerah kekuasaan dan diangkat sebagai Adipati Miji atau mandiri bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegoro I. Penetapan wilayah kekuasaan Raden Mas Said terjadi pada tanggal 17 Maret 1757 melalui sebuah perjanjian di daerah Salatiga. Kedudukannya sebagai Adipati Miji sejajar dengan kedudukan Sunan Paku Buwono III dan Sultan Hamengkubuwono I dengan daerah kekuasaan meliputi wilayah Keduwang (daerah Wonogiri bagian timur), Honggobayan (daerah timur laut Kota Wonogiri sampai perbatasan Jatipurno dan Jumapolo Kabupaten Karanganyar), Sembuyan (daerah sekitar Wuryantoro dan Baturetno), Matesih, dan Gunung Kidul.


KGPAA Mangkunegoro I membagi wilayah Kabupaten Wonogiri menjadi 5 (lima) daerah yang masing-masing memiliki ciri khas atau karakteristik yang digunakan sebagai metode dalam menyusun strategi kepemimpinan, yaitu :
1. Daerah Nglaroh (wilayah Wonogiri bagian utara, sekarang masuk wilayah kecamatan Selogiri). Sifat rakyat daerah ini adalah Bandol Ngrompol yang berarti kuat dari segi rohani dan jasmani, memiliki sifat bergerombol atau berkumpul. Karakteritik ini sangat positif dalam kaitannya untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Rakyat di daerah Nglaroh juga bersifat pemberani, suka berkelahi, membuat keributan akan tetapi jika bisa memanfaatkan potensi rakyat Nglaroh bisa menjadi kekuatan dasar yang kuat untuk perjuangan.
2. Daerah Sembuyan (wilayah Wonogiri bagian selatan sekarang Baturetno dan Wuryantoro), mempunyai karakter sebagai Kutuk Kalung Kendho yang berarti bersifat penurut, mudah diperintah pimpinan atau mempunyai sifat paternalistik.
3. Daerah Wiroko (wilayah sepanjang Kali Wiroko atau bagian tenggara Kabupaten Wonogiri sekarang masuk wilayah Kecamatan Tirtomoyo). Masyarakat didaerah ini mempunyai karakter sebagai Kethek Saranggon, mempunyai kemiripan seperti sifat kera yang suka hidup bergerombol, sulit diatur, mudah tersinggung dan kurang memperhatikan tata krama sopan santun. Jika didekati mereka kadang kurang mau menghargai orang lain, tetapi jika dijauhi mereka akan sakit hati. Istilahnya gampang-gampang susah.
4. Daerah Keduwang (wilayah Wonogiri bagian timur) masyarakatnya mempunyai karakter sebagai Lemah Bang Gineblegan. Sifat ini bagai tanah liat yang bisa padat dan dapat dibentuk jika ditepuk-tepuk. Masyarakat daerah ini suka berfoya-foya, boros dan sulit untuk melaksanakan perintah. Akan tetapi bagi seorang pemimpin yang tahu dan paham karakter sifat dan karakteristik mereka, ibarat mampu menepuk-nepuk layaknya sifat tanah liat, maka mereka akan mudah diarahkan ke hal yang bermanfaat.
5. Daerah Honggobayan (daerah timur laut Kota Wonogiri sampai perbatasan Jatipurno dan Jumapolo Kabupaten Karanganyar) mempunyai karakter seperti Asu Galak Ora Nyathek. Karakteristik masyarakat disini diibaratkan anjing buas yang suka menggonggong akan tetapi tidak suka menggigit. Sepintas dilihat dari tutur kata dan bahasanya, masyarakat Honggobayan memang kasar dan keras menampakkan sifat sombong dan congkak serta tinggi hati, dan yang terkesan adalah sifat kasar menakutkan. Akan tetapi mereka sebenarnya baik hati, perintah pimpinan akan dikerjakan dengan penuh tanggungjawab.

Dengan memahami karakter daerah-daerah tersebut, Raden Mas Said menerapkan cara yang berbeda dalam memerintah dan mengendalikan rakyat diwilayah kekuasaannya, menggali potensi yang maksimal demi kemajuan dalam membangun wilayah tersebut. Raden Mas Said memerintah selama kurang lebih 40 tahun dan wafat pada tanggal 28 Desember 1795.


SEJARAH SINGKAT JABATAN WEDONO GUNUNG WONOGIRI HINGGA BUPATI WONOGIRI


Setelah Raden Mas Said meninggal dunia, kekuasaan trah Mangkunegaran diteruskan oleh putra-putra beliau. Ada beberapa perkembangan penting mengenai situasi dan kondisi daerah kekuasaan, serta sistem pemerintahan yang menyangkut nama penguasa wilayah Praja Mangkunegaran termasuk di wilayah  Wonogiri.

Wilayah Wonogiri merupakan daerah Kawedanan (onderregent) dibawah Praja Mangkunegaran, yang dipimpin oleh seseorang dengan jabatan sebagai Wedono Gunung. Organisasi pemerintahan pada saat itu masih sangat sederhana, dengan titik berat bidang pemerintahan hanya dua urusan yaitu urusan dalam (reh jero) dan urusan luar (reh njobo).

Wedono Gunung Wonogiri
Jabatan Wedono Gunung Wonogiri pertama dijabat oleh Raden Ngabei Joyosudarso, sejak tahun 1847. Makam Wedono Gunung pertama ini terdapat di Dusun Ambarwangi, Desa Wonoharjo, Kecamatan Nguntoronadi.

Pada tahun 1875, atas permohonan R. Ng. Joyosudarso, Kawedanan Gunung  Wonogiri dipecah menjadi dua yaitu Kawedanan Gunung Wonogiri dan Kawedanan Gunung Baturetno. Kawedanan Gunung Wonogiri meliputi wilayah Keduang, Honggobayan, dan Nglaroh, dengan jabatan Wedono Gunung yang dipegang oleh Raden Ngabei Djoyosaronto (putra tertua R. Ngabei Joyosudarso). Kawedanan Gunung Baturetno meliputi wilayah Wiroko, Sembuyan, dan Ngawen dengan jabatan Wedono Gunung yang dipegang oleh Raden Ngabei Djoyohandojo (Putra kedua R. Ng. Joyosudarso). Pada tahun 1892, terjadi penghapusan wilayah Kawedanan Gunung Baturetno dan digabungkan kembali dengan Kawedanan Gunung Wonogiri. Pejabat Wedono Gunung dipegang oleh Raden Mas Ngabei Tjitrodipuro hingga tahun 1900. Hingga pada tahun 1903, terjadi penghapusan jabatan Panekaring Wedono Gunung. RM. Ng. Tjitrodipuro sendiri kemudian diangkat sebagai Bupati Patih di Praja Mangkunegaran dan berganti nama Raden Mas Ngabei Brotodipuro. Jabatan yang ditinggalkannya diganti oleh  Raden Mas Ngabei Haryokusumo (Eyang dari Ibu Tien Soeharto) sampai tahun 1916. Kemudian jabatan Wedono Gunung Wonogiri dipegang oleh Raden Mas Tumenggung Warso Adiningrat.

Pada tahun 1917, ada peristiwa penting yaitu Tetedakan KGPAA Mangkunegara VII yang diumumkan pada tanggal 19 Nopember 1917, yaitu berubahnya status wilayah Wonogiri yang semula Kawedanan Gunung menjadi Kabupaten yang dikepalai oleh seseorang oleh seorang Bupati yang menyandang gelar Tumenggung. KGPAA Mangkunegara VII kemudian mengangkat Raden Mas Tumenggung Warso Adiningrat sebagai Bupati Wonogiri. Sehingga beliau merupakan Bupati Wonogiri pertama dengan gelar Tumenggung. Akibat perubahan status ini, wilayah Wonogiri pun dibagi menjadi 5 Kawedanan yaitu Kawedanan Wonogiri, Wuryantoro, Baturetno, Jatisrono dan Purwantoro.


Bupati Wonogiri :
Sebelum masa kemerdekaan :
1. Kanjeng Raden Mas Tumenggung Warso Adiningrat
2. Mas Tumenggung Warsodingrat
3. Raden Ngabei Joyowirono
4. Kanjeng Raden Tumenggung Harjowiratmo

Setelah masa kemerdekaan :
Seiring dengan peristiwa kemerdekaan, Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 sampai tahun 1946 di wilayah Mangkunegaran terjadi dualisme pemerintahan, yaitu Kabupaten Wonogiri masih dalam wilayah monarki Praja Mangkunegaran dan di lain pihak menginginkan Kabupaten Wonogiri masuk dalam sistem demokrasi Republik Indonesia. Timbulah gerakan Anti Swapraja yang menginginkan Wonogiri keluar dari sistem kerajaan Mangkunegaran. Akhirnya disepakati bahwa Kabupaten Wonogiri tidak menghendaki kembalinya Swapraja Mangkunegaran.

Sejak saat itu Kabupaten Wonogiri mempunyai status seperti sekarang, dan masuk sebagai Kabupaten yang berada diwilayah Provinsi Jawa Tengah.

Nama Bupati Wonogiri setelah masa kemerdekaan :
1. SOETOJO HARDJO REKSONO ( 1946-1948 )
2. R. DANOEPRANOTO ( 1948-1950 )
3. R. AGUS MIFTAH DANOEKOESOEMO ( 1950-1953 )
4. SENTOT WONGSO ADMOJO ( 1953-1956 )
5. R. SOETARKO ( 1956-1957 )
6. POERWO PRANOTO ( 1958 )
7. R. YAKOP DANOE ADMOJO ( 1958-1959 )
8. RM. Ng. BROTO PRANOTO ( 1960-1966 )
9. R. SAMINO ( 1967-1974 )
10. KRMH. SOEMOHARMOYO ( 1974-1979 )
11. DRS. AGOES SOEMADI ( 1979-1980)
12. R. SOEDIHARTO ( 1980-1985 )
13. DRS. OEMARSONO ( 1985-1995 )
14. Drs. TJUK SUSILO ( 1995-2000 )
15. H. BEGUG POERNOMOSIDI ( 2000-2010 )
16. H. DANAR RAHMANTO ( 2010 – Sekarang )

Hari Jadi Kabupaten Wonogiri
Dengan mengambil momentum tanggal 19 Mei 1741 M, ketika Raden Mas Said membentuk sebuah awal pemerintahan di Nglaroh yang juga dianggap sebagai cikal bakal Kabupaten Wonogiri, maka Pemerintah Kabupaten Wonogiri menetapkan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1990 tentang Hari Jadi Kabupaten Daerah Tingkat II Wonogiri. Hari Jadi suatu daerah pada hakekatnya adalah merupakan awal perjalanan sejarah dan titik tolak untuk menatap masa depan dengan pembangunan secara sistematis dan berkesinambungan.

Tahun 1741 dilambangkan dengan surya sengkala Kahutaman Sumbering Giri Linuwih. Arti kata yang terkandung didalamnya adalah Kahutaman : keberanian; Sumbering : sumber kekuatan; Giri : Gunung/Wonogiri; dan Linuwih : tertinggi. Sehingga jika digabungkan mengandung maksud filosofis yaitu : Dengan keberanian atas dasar keluhuran budi, tekad dan semangat, segala tujuan luhur akan tercapai.

Hari Jadi Kabupaten Wonogiri merupakan salah satu jati diri daerah yang perlu dihormati, dilestarikan dan diperingati oleh segenap jajaran Pemerintah Daerah dan seluruh lapisan masyarakat dengan menumbuhkan semangat juang, patriotisme, kesatuan bangsa, kemandirian, suri tauladan dan nilai budaya luhur para leluhur bagi generasi muda untuk mencapai cita-cita bangsa. Setiap tanggal 19 Mei di Kabupaten Wonogiri digelar serangkaian upacara dan kegiatan dalam rangka memeriahkan peringatan Hari Jadi, dan sekaligus sebagai sarana mempromosikan potensi wisata budaya yang ada di Kabupaten Wonogiri.

Sekarang Kabupaten Wonogiri sudah menjadi sebuah Kabupaten yang memiliki berbagai keunggulan diberbagai bidang berkat kerja keras, keuletan, kemandirian dan semangat pantang menyerah seluruh rakyat dan semua komponen di Kabupaten Wonogiri dalam pembangunan. Kesadaran rakyat Wonogiri sangat tinggi dalam berpartisipasi untuk membangun daerah yang dulunya tandus menjadi daerah yang potensial dibidang ekonomi, sosial kebudayaan pariwisata, dan olahraga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar